Saya teringat pidato Presiden SBY pada Peringatan Hari Guru tahun 2011. Beliau mengkritik kinerja guru karena di anggap kurang maksimal dalam melakukan tugas sehingga anggaran pendidikan sebesar 20% dirasakan kurang berdampak terhadap peningkatan kualitas SDM Indonesia yang dibuktikan dengan Indeks Sumber daya Manusia Indonesia masih rendah. Sebagai pemerhati pendidikan saya sangat miris dengan kritikan pak SBY. Para guru ternyata tidak bereaksi dengan kritikan tersebut, mungkin karena mawas diri. Namun seyogyanya kritikan tersebut lebih pantas ditujukan kepada para penentu kebijakan di dunia pendidikan dan elit pimpinan daerah yang tidak becus mengurus pendidikan.
Dunia pendidikan semestinya bebas dari semua kepentingan politik praktis. Namun faktanya jabatan-jabatan di dunia pendidikan di daerah mulai dari kepala sekolah hingga kepala dinas pendidikan semuanya sarat dengan praktik suap, jual beli jabatan hingga kepentingan melanggengkan kekuasaan. Kepala sekolah tidak dipilih berdasarkan standar kompetensi namun didasari pertimbangan seberapa banyak uang suapnya, seberapa banyak sumbangsihnya dalam pilkada, seberapa dekat dengan para bupati. Dampaknya sang kepala sekolah tidak pernah berkosentrasi memikirkan bagaimana memajukan sekolah, mengelola keuangan sekolah secara transparan, membina, mengarahkan dan memotivasi para guru untuk bekerja maksimal, atau berjuang melengkapi sarana dan prasarana sekolah dengan membina hubungan dengan stake holder. Para kepala sekolah lebih disibukkan dengan bagaimana melanggengkan jabatannya, melakukan lobi, menjilat, atau menuruti semua keinginan pimpinan, yang penting” mengamankan posisi”. Ini baru level kepala sekolah bung! Belum lagi jabatan-jabatan diatasnya tentu lebih parah lagi. Maka tidak heran jika kepala dinas pendidikan gelar akademiknya Sarjana Hukum atau Sarjana ekonomi. Atau sebaliknya Sarjana Pendidikan menjadi Kepala Satpol PP. Intinya tak ada pertimbangan right man on the right place. Para pimpinan lembaga pendidikan dan para pejabat akhirnya tidak memiliki visi dalam bekerja.Hal yang lebih miris lagi adalah soal rekruitmen guru melalui CPNSD. Sudah bukan rahasia jika tarif menjadi PNS guru S1 tidak kurang dari 120 juta rupiah. Hebaaaat. Maka pekerjaan Guru PNS sekarang sebagian besar milik orang-orang berduit ,anak pejabat, atau kroni-kroni para pejabat. Tidak heran jika kualitas guru-gurunya nol besar.
Keadaan lebih rumit lagi dengan budaya korupsi para pejabat yang sudah mengurat nadi. Jika di audit sedetil-detilnya mungkin anggaran pendidikan untuk infrastruktur pendidikan menguap tidak kurang dari 60%. Mau bukti? Coba tengok pengadaan mebulair di sekolah-sekolah. Belum genap satu minggu di kirim oleh supplier akan terlihat bubuk kayu menyerang almari, meja, dan kursi siswa. Itu baru kursi bung! Belum lagi anggaran perbaikan gedung dan sarana pendidikan lainnya.
Untuk menutupi borok para pejabat, maka ketika ujian tiba, tiap daerah menargetkan kelulusan yang fantastits, bahkan banyak yang menargetkan 100%. Untuk mencapai misi ini, maka gubernur menekan bupati, bupati menekan kepala dinas pendidikan, kepala diinas pendidikan menekan MKKS, MKKS menekan Kepala sekolah, dan kepala sekolah menekan guru untuk merakayasa nilai ujian dengan berbagai cara agar tercapai target kelulusan 100%. Sekali lagi guru yang menjadi korban. Ketika di umumkan kelulusan 100%, maka pendidikan di anggap meningkat. Bupati, gubernur bahkan menteri pendidikan nasional akhirnya berkoar-koar tentang hasil pendidikan yang meningkat dengan bukti kelulusan di atas 80%.
Mutu pendidikan kini tinggallah jargon atau alasan untuk mengeruk anggaran negara untuk proyek yang labelnya “Peningkatan Mutu”.
1 komentar so far
Emang. . .
Lebih baik duit buat pendidikan dari pada dikorupsi gak jelas!
EmoticonEmoticon